Senin, 07 Maret 2022 21:25

Rusia Invasi Ukraina, Kemarahan Putin yang Dikhianati NATO

Mobil yang digunakan untuk mengevakuasi WNI dari Kyiv, Ukraina. (Int)
Mobil yang digunakan untuk mengevakuasi WNI dari Kyiv, Ukraina. (Int)

Dewan Rusia-NATO juga dibentuk pada 2002, namun kemudian berhenti beroperasi pada 2021.

JAKARTA, PEDOMANMEDIA - Keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk meluncurkan Operasi Militer Khusus ke Ukraina merupakan bentuk kemarahan yang sudah tidak lagi terbendung karena NATO tidak menepati janjinya.

Meski tidak ada perjanjian secara formal, namun Pakta Pertahanan Atlantik Utara sudah berulang kali menyatakan pihaknya tidak akan melakukan ekspansi ke arah Timur, yang mengancam Rusia.

Pada 9 Februari 1990, pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri AS saat itu, James A. Baker. Keduanya sepakat bahwa NATO tidak akan memperluas wilayahnya melewati Jerman Timur.

Baca Juga

"Dalam diskusi terkait status Jerman yang dipersatukan, keduanya sepakat NATO tidak akan memperluas teritorinya melebihi Jerman Timur," begitu isi notulensi yang kerap dikutip media.

Di samping itu, ada pertemuan pejabat tinggi NATO yang menegaskan aliansi tersebut tidak akan melakukan ekspansi ke wilayah Timur.

Namun pada kenyataannya, sejumlah negara bekas Uni Soviet, seperti Polandia, Hongaria, hingga Ceko masuk anggota NATO. Bahkan Estonia, Latvia, dan Lithuania juga ikut bergabung.

"Yang mulai membuat kemarahan Putin adalah ketika Georgia pada tahun 2008 itu juga menyatakan keinginannya untuk masuk NATO," ujar Duta Besar RI untuk Rusia periode 2016-2020, Wahid Supriyadi dalam webinar yang digelar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilansir RMOL, pada Senin (7/3/2022).

Ketika itu, Wahid menjelaskan, terjadi kebetulan, bahwa ada dua wilayah Georgia yang berusaha memerdekakan diri, yaitu Abkhazia dan Ossetia Selatan. Kemudian Rusia mengakuinya dan mengirim militer sebagai dalih untuk menyelamatkan dua republik tersebut.

"Tujuannya memang bukan untuk menduduki, tapi hanya memberikan pelajaran agar jangan coba-coba masuk NATO," kata Wahid.

Situasi serupa juga dialami Ukraina saat ini, di mana Rusia telah mengakui Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka. Putin kemudian mengirim militer sebagai dalih untuk menyelamatkan penduduk sipil.

Wahid menjelaskan, kemarahan Putin yang tidak terbendung lantaran Ukraina, Georgia, dan Belarus merupakan negara penyangga bagi Rusia, yang dianggapnya sebagai "halaman depan".

"Sehingga ketika Ukraina masuk NATO, itu sama dengan deployment of military power di depan mata Putin. Secara geopolitik dan geostrategis, ini adalah ancaman buat negara," terangnya.

Padahal, lanjutnya, catatan menunjukkan, sikap Putin pada periode 2000 hingga 2007 tidak agresif terhadap Barat, yang digambarkan sebagai "anak manis".

Bahkan pada tahun 2000, Putin ingin Rusia menjadi anggota NATO, yang kemudian ditolak. Setelah peristiwa 9/11 pada 2001, Putin juga mengizinkan wilayah udara Rusia digunakan AS untuk melancarkan operasi militer ke Afghanistan. Kemudian Putin juga mengizinkan dua negara sekutu Rusia, Kirgistan dan Uzbekistan, sebagai tuan rumah pangkalan militer sementara AS.

Pada tahun 2002, Rusia dan AS menandatangani deklarasi bersama terkait kemitraan strategis, oleh masing-masing kepala negara. Itu adalah perjanjian yang berisi upaya bersama mengatasi masalah-masalah setelah 9/11.

Dewan Rusia-NATO juga dibentuk pada 2002, namun kemudian berhenti beroperasi pada 2021.

"Jadi ini dianggap sebagai pengkhianatan menurut Putin. Ketika ia sudah berusaha untuk dekat dengan Barat, tapi yang terjadi adalah wilayah satelitnya masuk NATO," tutup Wahid.

Editor : Amrin
#WNI Dievakuasi # Rusia Invasi Ukraina
Berikan Komentar Anda
Epaper
Cover Epaper
Populer